MTBFM.CO.ID – Selama pandemi jumlah perceraian di Surabaya kian meningkat. Finansial dan efek psikologis dampak situasi karantina menjadi salah satu pemicu utama. Akan tetapi jika dilihat dari psikologi, dinamika pernikahan selalu memiliki fase krisis yang wajib diketahui semua pasangan.
Menurut Tri Kurniati Ambarini MPsi, Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, secara garis besar pasangan yang telah menikah umumnya akan mengalami 7 tahapan pernikahan. Tahapan-tahapan tersebut terdiri atas passion atau gairah, realisasi, pemberontakan, kerja sama, reuni, ledakan, serta penyelesaian.
“Ketujuh tahapan tersebut akan diikuti oleh serangkaian fase-fase krisis berdasarkan umur pernikahan,” kata Tri.
“Fase kedua terjadi di tahun kelima yang biasanya muncul akibat masalah finansial yang belum mapan. Jika sedang menginjak fase ini, hendaknya suami dan istri mulai sepakat untuk berbagi peran agar keadaan keuangan segera stabil,” jelasnya.
Kemudian fase yang terjadi pada tahun ke-10, perekonomian mulai mapan serta keduanya telah memiliki anak di usia sekolah. Namun, usia pernikahan ini begitu rawan kehadiran orang ketiga karena baik suami maupun istri, mulai tenggelam dalam dunianya sendiri.
“Sang istri mulai menikmati perannya sebagai seorang ibu dan istri, sementara suami mulai kehilangan perhatian,” ujarnya.
Pada tahun ke-15 pernikahan, baik suami dan istri rentan mengalami masalah eksistensi diri. Krisis identitas diri tersebut akan diikuti dengan fase tahun pernikahan ke-10 yang mengalami masa refleksi.
Terakhir, fase krisis di tahun ke-25 pernikahan pasangan akan mulai mengalami penyakit degeneratif serta gangguan lain akibat usia senja. “Pada masa ini ketergantungan terhadap pasangan akan semakin kuat. Mereka yang berhasil mencapai fase ini akan menyadari bahwa satu-satunya yang mereka butuhkan saat itu adalah kehadiran pasangan sebagai teman hidup di masa tua,” kata dia.
Berdasarkan fase-fase tersebut, pandemi dan segala dampaknya mungkin saja turut menjadi pemicu keretakan hubungan rumah tangga. Meski begitu, tanpa adanya pandemi pun setiap pasangan pasti akan mengalami fase-fase krisis tersebut.
“Oleh karenanya, saya mengingatkan manajemen psikologis, toleransi, serta diskusi menjadi poin utama untuk mencegah dan mengatasi masalah dalam pernikahan,” pungkasnya.
( src : DTK / M )