MTBFM.CO.ID – Sayur lodeh tujuh warna sempat menjadi perbincangan, karena muncul hoaks yang menyatakan bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono X meminta rakyat Yogyakarta untuk membuatnya agar terhindar dari pagebluk atau penyakit.
Fasty Arum Utami, Ahli gizi mengatakan mengonsumsi sayur lodeh yang merupakan komposisi makanan yang seimbang memang baik karena dapat menambah asupan gizi bagi tubuh.
“Pola makanan di Indonesia kurang akan asupan serat, sedangkan kalau masyarakat mengonsumsi sayur lodeh, itu banyak sisi positifnya menurut saya, karena mereka akan lebih banyak mendapat asupan serat dari berbagai sayuran yang ada di lodeh,” kata akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.
Komposisi bahan dalam menu sayur lodeh tujuh warna terdapat bahan kluwih, kacang panjang, terong, waluh atau labu, daun melinjo atau godhong so, kulit buah melinjo dan tempe. Semua bahan itu, kata dia, memiliki nilai gizi yang baik.
Masakan berkuah santan itu sempat menjadi pembicaraan ketika muncul hoaks tentang Sri Sultan Hamengkubuwono X yang meminta masyarakat untuk membuat sayur lodeh tujuh warna sebagai bentuk usaha menangkal pandemi COVID-19 yang sedang terjadi di Indonesia.
Dalam pesan berantai yang dikirim lewat aplikasi pesan itu tertulis “Pageblug. Wayahe rakyat Mataram nyayur Lodeh 7 warna: Kluwih, Cang Gleyor, Terong, Kulit Mlinjo, Waluh, Godong So, Tempe. Mugi Sedaya tansah widodo nir ing Sambekala,”.
Jika diterjemahkan artinya adalah “Pagebluk. Saatnya rakyat Mataram membuat sayur lodeh 7 warna: kluwih, kacang panjang, terong, kulit melinjo, labu, daun melinjo muda, tempe. Semoga semua selalu selamat dari bencana.”
Namun, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membantah Sri Sultan Hamengkubowono X pernah memerintahkan hal seperti itu.
Fasty, yang berasal dan tinggal di Yogyakarta, membenarkan ada kepercayaan dan tradisi sayur lodeh tujuh warna mampu menangkis bala. Tidak hanya saat sekarang menghadapi pandemi yang disebabkan virus corona jenis baru, tapi ajakan membuat lodeh itu juga muncul saat gempa bumi mengguncang Yogyakarta pada 2006.
“Sebenarnya itu semacam simbol. Kalau di Jawa ada banyak macam simbol seperti tumpeng dan isiannya juga merupakan simbol, begitu pula lodeh,” kata nutrisionis itu.
( src : ANT / M )